Laman

Sabtu, 15 Januari 2011

Bayi Mentari


Kriinggg, kriiinnggg
Segera pulang, ayah hidup lagi, dia hanya ingin bertemu dengan kalian.
2 hari yang lalu aku menerima telfon entah dari siapa yang memberitahuku hal tersebut. Aku tak percaya dengan bunyi telfon itu, kututup kembali gagangnya dengan berbagai badai dalam benakku. Beberapa saat kemudian, telfon itu berteriak “ayah pulang, ayah hidup lagi dan ingin bertemu kalian semua. Entah kenapa telfon itu selalu berbunyi dan meneriakkan kata-kata itu, bahkan setelah aku mencopot kabel telfon tersebut, tapi teriakan itu tetap saja berkumandang dalam gendang telingaku mengalir melalui saluran eustachius dan keluar dari mulutku dalam bentuk teriakan juga. “SEGERA PULANG, AYAH HIDUP LAGI, DIA HANYA INGIN BERTEMU DENGAN KALIAN” lalu kutambahkan gelak tawa dan diakhir teriakanku.
Sejenak aku membayangkan seraut wajah yang hampir terlupakan. Yah, seraut wajah yang sangat mirip dengan milikku, mungkin itu penampilannya saat dia muda dulu. Aku tidak tahu seberapa lama pikiranku mencoba menggambarkan rupa yang telah terlupakan, karena sebenarnya dia tidak mau melakukannya. Entah dia benci atau pura-pura benci atau karena dia memang terpaksa. Namun yang jelas aku membayangkan serangkai wajah yang secara tidak kusadari, aku merindukannya.
Malam yang sangat egois dan sombong sedang menguasai udara, menciutkan taring-taring kemanusiaan. Aku merasa malam itu tidak akan mau tergantikan oleh pagi yang bersiap bangun. Dan pagi tidak akan bangun selama jubah tajam sang malam masih meracuni sayap bayi mentari. Malam yang sangat maruk dan bebal, tetap bertahan dengan sombong dan angkuh.
Telah beberapa kali aku membentaknya dengan tatapan garang “Apa yang membuatmu begitu betah menguasai udara merajai hari? Kenapa tak kau ijinkan pagi terbangun”?
Namun dia hanya tertawa, tertawa dan tertawa, dia menertawakanku seolah aku adalah mahluk hina yang pantas ditertawakan. Mungkin dia melupakan bahwa aku adalah bagian dari mahluk yang paling sempurna. Setidaknya itu yang aku pahami dari kodratku sebagai manusia.
Ingin kuhantam mulutnya yang penuh dengan sindiran, hingga dia tak dapat tertawa. Apakah dia tidak tahu, kalau saat ini aku sangat membutuhkan bayi matahari . Apa dia tidak \menyadari apabila bayi matahari  tidak segera lahir maka harapan itu akan musnah ditelan pekatnya yang membuat udara terasa hambar. Malam yang sangat sombong dan penuh kuasa kembali mengejek membangkitkan emosiku yang selama ini aku redam.
Sementara itu dipembaringan, kulihat ayahku terbaring lemah menunggu kelahiran bayi matahari. Namun entah kenapa bayi matahari itu tidak juga lahir dan mengepakkan sayap cahayanya apakah dia tertidur? Apakah dia tidak sanggup mengeyahkan jubah kelam dari sang malam? Apakah dia telah melupakan kami yang meneriakkan namanya dalam setiap airmata yang membeku? Apakah bayi matahari itu akan terjaga? Aku hanya bertanya-tanya dalam hatiku meskipun aku tahu tidak akan ada yang menjawab pertanyaanku. 
Di sisi pembaringan kulihat ibuku dan seorang pendeta beserta adik ayahku sedang berdoa, memohon sehelai keajaiban sudi memayungi harapan-harapan kami. Memohon keajaiban agar sang bayi matahari lekas terbangun dan berkuasa di langit.
Dipembaringan kulihat ayahku membuka kelopak matanya dan menatapku. Tatapannya seolah bertanya “Kenapa tak kau pejamkan matamu dan ikut memohon agar sang  pagi segera datang?
Namun aku hanya membalas tatapan itu dengan air mata yang mengalir lemah. Sementara di dalam hatiku, tak henti-hentinya kukutuk malam yang tak tahu diri dan sombong.
Malam yang benar-benar tidak memiliki perasaan,.
Aku tahu dan menyadari bahwa aku berada pada posisi yang kurang tepat. Aku hanya mengutuk malam dan mencacinya. Namun sedikitpun aku tidak menyampaikan permohonan dan sujud agar pagi segera melebarkan cahayanya.
Saat itu aku sangat tidak berguna dan sangat tidak berarti buat siapapun, bahkan untuk diriku sendiri. Aku hanya jadi beban dengan mengamati besarnya jubah malam yang membuat malam itu semakin pongah dan memamerkan semua yang dimilikinya dengan kehampaanku.
Jauh dari sana, kakak dan adikku tidur dalam belaian mimpi dan harapan-harapan akan ada hari esok dan pagi yang penuh dengan senyuman. Mereka tidak menyadari betapa besar dan kelam jubah malam. Kutatap kembali ayahku yang terbaring lemah, namun aku tak kuasa melahirkan kata dari mulut yang tak kuasa bergerak.
Aku tak sanggup berkata bahwa dia ayah yang hebat, dan aku tak kuasa mengatakan bahwa aku lebih menyayanginya lebih dari aku mencintai matahari. Aku juga tak kuasa menyampaikan betapa aku tidak rela jika dia pergi menuju cahaya abadi begitu saja yang mengambil separuh cahaya di hidupku.
Kutatap lagi matanya dan kunikmati saat dia melebur dan berubah jadi cahaya paling terang yang pernah kutemui. Aku hanya menatap dan menatap. Aku tak kuasa mencegah karena kutahu itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Aku hanya menikmati dan berusaha merekam bagaimana dia berubah menjadi kepingan-kepingan cahaya. Tanpa kusadari tontonan ini harus kubayar dengan semua semangat yang kumiliki dan menyeretku kedalam hampa.
Aku pulang dari tempat itu dengan langkah hampa. Tidak ada air mata yang mengalir. Orang-orang boleh berkata aku ini tegar dan tabah, namun mereka tidak menyadari, aku bahkan tidak mengerti apa itu arti tegar dan tabah. Aku hanya merasa sepi. Aku sangat ingin menangis, namun aku sudah melupakan bagaimana caranya menangis.
Kota ini masih tertidur dengan lelap saat aku melangkah sendirian menembus malam yang sangat hampa hingga terkadang kumerasa waktu tidak berjalan, atau aku yang tidak berjalan.
Tidak ada yang menyadari malam ini sangat lama dan sangat hampa, aku yakin mereka tidak tahu kalau malam ini pergi seiring dengan musnahnya separuh cahaya terindah dari dalam diriku.
Perlahan kumasuki sebuah rumah yang sangat mengenalku, sebuah rumah yang menjadi saksi perubahan seorang anak manusia dari bayi hingga sanggup berkata “Malam ini sangat pekat”. Hanya tarian rerumputan dikala subuh yang mengiringi langkahku memasuki pekarangan ini. Menatap langkahku yang sangat hampa, rumah itu membuka pintunya dengan perlahan, hampir tak bersuara. Hanya nyanyian pintu pada engsel yang membuatku masih tetap terjaga dalam sebuah lamunan yang hendak kubuang jauh-jauh.
Kujejakkan langkah kedalam rumah, lalu kubangunkan adik dan kakakku. Dengan ucapan yang nyaris berbisik aku berkata “Dia pergi, dia pergi menuju para cahaya”. Bisikan itu hanya dibalas dengan kepingan kristal yang jatuh dengan sangat perlahan.
Kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan dengan harapan semua galau di hatiku ikut terbuang bersama kepingan-kepingan kristal miliknya.
 5 tahun....
5 tahun aku berusaha menghalau galau dan amarah, serta pencarian separuh cahayaku yang melebur bersama angin.
Kringgggg.........Kringggggg........Kringgggg
Telfon itu kembali berbunyi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar