Laman

Kamis, 10 Februari 2011

Tak Ada Pagi

Jangan pergi…
Hanya itu kata yang kuucapkan namun kau tetap pergi
Masih terukir jelas dalam pahatan otakku bagaimana kau datang bersama dengan segala keindahan yang membuat malamku tak pernah pekat
Kamu siapa?
Sebuah sapaan yang sangat biasa dari sorang pria yang ingin berkenalan denganmu. Namun sebuah jawaban yang sangat mengubah hidupku menghampiriku, sebuah untaian senyum kau kalungkan pada pelupuk mataku. Aku hanya melihat tatapan yang menyenangkan.
Aduhai, kiranya masih ada seorang gadis sepertimu. Perlahan dengan jantung yang semakin berdegup kencang aku mencoba memulai percakapan basi yang seharusnya sudah terkubur oleh zaman
Siapa namamu?
Ehm, dimana rumahmu?
Kamu sendiri?, ehm kau betah disini? Namaku ehm, eh.
Semua pertanyaanku kau jawab dengan sangat tepat dan memukau. Hanya dengan senyuman dan lesung pipit yang terukir diwajahmu. Dengan senyuman. Hanya dengan senyuman kau menjawab-pertanyaan-pertanyaanku. Namun entah kenapa aku malah senang dengan jawaban senyumanmu. Semakin banyak aku bertanya, maka semakin banyak pula senyum yang kau berikan. Lalu jika senyummu tak mampu lagi menjawab, maka kau pun akan  tertawa dengan memamerkan wajamu yang kekanak-kanakan itu.
Berawal pada sebuah pestta ulang tahun yang secara tidak sengaja aku datangi. Aku kemudian mengenalmu. Namun anehnya, sampai berminggu-minggu bahkan sampai saat ini aku bahkan tidak tahu siapa namamu. Namun sebaliknya kau tahu semua hal tentangku. Mulai dari namaku, rumahku, keluargaku bahkan tanggal lahirku. Namun aku, aku bahkan tidak tahu siapa namamu.
Ah, biarlah. Mungkin rasa sayang tidak membutuhkan nama. Kilahku saat teman-temanku mulai menanyakanku siapa namamu.
Aku jauh lebih menikmati bagaimana kau dan aku bercengkrama dalam sebuah kursi panjangan dengan danau kecil didepanya.
Aku menamai danau itu “hening”. Karna setiap kali kita menikmati belaian angin dari yang berlarian disekitar danau, kau selalu terdiam disebelahku. Tak pernah kau ciptakan suara atau apapun yang merusak keheningan tempat ini. Lalu aku, aku dengan senang hati menjadi bagian dari butiran udara yang dengan setia menemani setiap hening yang kau ciptakan.
Hanya saja, aku tak kuasa jika terkadang kau meneteskan butiran-butiran kristal dari kelopak matamu yang kemudian mengalir perlahan membasahi pipimu. Sungguh aku selalu ingin menyeka butiran-butiran permata yang mengalir perlahan dipipimu. Namun sepertinya aku tak kuasa, aku tak berani. Aku juga tak berani menyela kenapa kau terlihat muram. Aku hanya berani berusaha membuatmu tersenyum. Namun tidak untuk menyeka dan bertanya kenapa airmatamu membahasi wajahmu. Namun aku ingin membuatmu tersenyum. Seperti pertama kali aku bertemu denganmu. Entahlah, senyum yang dulu sangat gampang tergambar diwajahku kini semakin sulit kudapatkan. Entah dimana kau sembunyikan senyummuwajahku kini semakin sulit kudapatkan. Entah dimana kau sembunyikan senyummu.
Kini senyummu semakin langka. Jika dulu aku hanya menyapamu atau memberimu bunga yang kupetik dari taman kita maka kau pasti tersenyum bahkan mungkin sedikit tertawa
Aku hanya merasa kau semakin jauh
Hingga pada suatu sore yang basah di bulan September, kau memberiku sebuah buku kecil dengan fotomu dilembaran pertama
Kau hanya mengangguk menyuruhku membaca puisi pada halaman pertamanya

Belaian senja aku selalu memalingkan dan menyeretku
Menuju malam yang menyelimuti rumahku
Namun keesokan paginya, fajar akan mengantarkanku pada kicauanmu
Terkadang beberapa senja memalingkanku dan menyeretku terlalu jauh
Namun fajar tidak selalu cukup cepat untuk mengantarkanku pada kicauanmu
Sebelum siang datang
Aku hanya ingin dipeluk kembali oleh kicauanmu

Sejenak aku terdiam. Aku bahkan belum begitu mengerti apa yang terjadi. Lalu kepingan-kepingan kristal itu menyapa pipiku.  
“Jangan pergi” hanya itu yang kuucapkan
Jangan pergi, jangan pergi.. teriakku berulang-ulang, namun kau tetap pergi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar