Laman

Jumat, 27 Mei 2011

Dahaga Padang Rumput


Suatu pagi tanpa bekas embun pada rumput
Bayi manusia terjerat dahaga pada padang rumput
Mencari embun yang tersasar sambil mendoakan hujan
Namun langit begitu cerah dan perkasa
Hujan hanya ada dalam kepala
Tapi rumput ini begitu hijau
Dan kumpulan domba begitu riang
Tanpa bekas embun
Tapi terjerat dahaga padang rumput hijau
Pasti sebuah candaan
Andaikan ini sebuah gurun, tentu aku terima
Dan kenapa pelangi sialan masih bertengger pada langit?
Seolah-olah hujan baru saja turun
Lagi… hanya ada rumput dan pasangan-pasangan putri malu
Yang selalu meledekku dengan katupan daunnya
Hwaaaaaa !!!
Aku ingin menyusu pada bumi saja



31 Maret 2011

Pengecut-pengecutku


Dengan lantang kuucapkan
“Turut berdukacita atas berpulangnya rasa persaudaraan kita
Semoga tetek bengeknya diterima disisi-Nya”

Menaklukkan saudara-saudara alam
Menghirup setiap saripati udara dingin
Membeku bersama para hujan
Terlelap dalam ribaan pepohonan
Maka kitapun melambung bersama
“Ah, kau pengecut” katamu

Menelusuri cerita pada rimbun belukar
Menitipkan memori pada embun dingin
berkelakar pada dingin malam
Mengabadikan setiap moment standar pada kamera-kamera
Membuatnya terlihat menantang
Lantas kau ucapkan dengan bangga
“Aku bertaruh nyawa”

Sungguh,
Aku menahan tawa yang amat sangat
Bagaimana mungkin bertaruh nyawa
Kita bahkan tidak bertaruh sama sekali
Rawamangun, 4 April 2010 
Anjing Tuhan Manusia


-                Apa yang membuat manusia menjadi mahluk yang paling sempurna
+       Tentu saja karena manusia memiliki akal?
-                Lah, bukankah hewan juga memiliki akal?
+       Tentu saja tidak, hewan hanya memiliki insting dan tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, tak mampu membedakan yang baik dan yang jahat
-                 Lantas apa karena alasan itu sehingga manusia berkuasa atas segala hewan dan tumbuhan dan tidak akan mungkin sebaliknya?
+       Tentu saja bukan, manusia berkuasa atas mahluk lain bukan karena dia mengerti mana yang baik dan mana yang jahat,tetapi karena memang itulah kodratnya sebagai manusia
-                 Kalau memang manusia berkuasa atas mahluk lain, lantas siapa yang berkuasa atas dirinya? Apakah dirinya sendiri?
Tentu saja bukan, manusia tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Masing-masing manusia memiliki tuhannya masing-masing yang akan berkuasa terhadap dirinya. Tentu saja tuhan yang menurutnya yang paling benar
-           Lantas, bagaimana jika manusia ingin hanya tuhannyalah yang benar?
+    Tentu saja hal ini akan mengubah kodratnya dari mahluk yang paling sederhana menjadi mahluk biasa, sama seperti hewan dan tumbuhan
-           Kenapa bisa seperti itu?
+    Tentu saja itu merupakan kodrat. Sama seperti anjing yang mengagungkan  tuannya. Yang menyalak bila ada anjing lain atau orang lain yang melintasi teritori tuannya seolah-olah memaksa mahluk lain untuk takut pada tuannya.
Padahal, salakan, gonggongan bahkan gigitannya sekalipun tidak menambah apapun pada wibawa dan pamor tuannya
Malah, hanya akan membuat mahluk lain menjadi kesal, benci atau marah pada tuannya karena dianggap tak mampu mendidik anjingnya
-          Apakah itu berarti kau menyalahkan manusia yang ingin tuhannya benar?
+    Tentu saja dia benar. Dia benar sekaligus salah. Benar karena dia menghormati apa yang dia anggap benar. Salah karena di memaksa mahluk lain untuk menyatakan benar terhadap sesuatu yang manusia tadi anggap benar
-          Lantas kenapa kau terlihat begitu menggurui? Dan berani menentukan mana yang benar dan mana yang salah? Bukankah itu sebuah kesalahan untukmu? Memangnya kau siapa ?
+    Hahahaha. Tentu saja aku adalah tuhan. Dan tentu saja tuhan tidak boleh salah. Itu sudah menjadi sebuah kodrat
-          Hahahaaha, kau adalah tuhan? Sungguh menggelikan
+    Hahahaha tentu saja kau boleh tertawa. Tenang saja, kau tidak perlu menyembahku, toh kau bukanlah hambaku. Aku sudah memiliki hambaku sendiri, yaitu diriku sendiri dan aku adalah Tuhan untuk diriku sendiri.
-          Kenapa bisa begitu kau bercanda?
+    Hahahaha tentu saja aku tidak bercanda. Ini semua kulakukan agar aku menganggap diriku benar. Dan tentu saja tidak akan ada manusia lain yang akan mempermasalahkan ketuhananku. Tidak akan ada hamba-hamba yang harus berperang atas namaku, memperebutkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Mengklasifikasikan mayoritas dan minoritas menurut tuhannya masing-masing.
Karna ketahuilah, bahwa sesungguhnya jumlah hamba bahkan mulai dari hitungan jari hingga berlipat-lipat dari jumlah pasir di pantai tidak akan mampu mempengaruhi kebesaran, kemuliaan atau keagungan para tuhan
Karna pada dasarnya, keagungan adalah kodrat pada tuhan. Dan manusia tidak memiliki apapun yang mampu untuk mengurangi atau menambah seujung kukupun dari keagungan para tuhan.
Jadi bagaimana? Maukah kau menjadi tuhan?
Pasarminggu, 1 April 2011
Untuk rekan sesama manusia  yang bukan manusia

Aku Hendak Mengutukmu Sayang


Sayang, aku hendak mengutukmu
Tenang saja, kau tidak akan ku kutuk kau menjadi babi
Atau putri dengan ekor babi atau mejadi putri tidur berwajah babi
Tapi sayang…
Aku hendak mengutukmu
Tenang saja, kau, kau tidak akan ku kutuk menjadi pengidap kusta
Atau penderita ayan, atau menjadi putri penebar bau busuk dengan aroma bangkai
Tapi sayang…
Aku hendak mengutukmu
Aku memang bukan penyihir dengan kue coklat
Yang menyekap Hans and Gretel dan mengintai dengan seringai
Tapi sayang…
Aku hendak mengutukmu
Terkutuklah engkau menjadi batu dengan nafas-nafas lumut
Terkutuklah kau menjadi beton-beton istana dengan cerita mistismu yang menjijikkan
Terkutuklah kau menjadi endapan-endapan pasir yang dileburkan ayah para ombak
Dan terkutuklah kau menjadi stupa-stupa tanpa nama pelintas sejarah
Lalu kemudian aku akan mengutuk diriku sendiri menjadi udara saudara pada angin
Yang akan menyelimutimu dari waktu kewaktu

Kamis, 10 Februari 2011

Senyum Malam Hari

Aku harus menciptakan puisi, maka akupun berkhayal
1 Menit
1 Jam

Selalu Ada Waktu

Aku pernah memiliki jejak yang sama denganmu
Menikmati kiri yang kau berikan dan meluangkan kananku untukmu
Tidak ada yang salah
Hanya saja jejak kita berhujan, dan berlumpur
Namun itu bukan salahmu bukan pula salahku
Salahkan saja hujan, olehnya jejak kita berlumpur

Masa Mudaku

Dimalam saat lampu jalan padam, aku duduk terpekur diberanda rumahku
Kunyalakan rokokku dan kuhisap perlahan.
Umurku tak lebih panjang dari rokok ini
Lampu jalan itu masih padam, setengah menghayal kuhirup kopi hitamku
Langit masih mendung